Search

Wednesday, January 26, 2011

Bank Sebagai Sasaran dan Sarana Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering)

- B.R.Azam,SH.MH -
Pada bulan Juni tahun 2001, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang masuk ke dalam daftar hitam FATF (Financial Action Task Force). Indonesia dianggap negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang (money laundering). Hal ini dikarenakan pada waktu itu Indonesia belum memiliki sistem dan langkah-langkah nyata dalam pemberantasan money laundering antara lain belum memiliki undang-undang yang menyatakan bahwa money laundering sebagai suatu tindak pidana dan belum memiliki lembaga yang secara khusus bertanggung jawab menangani money laundering.
Predikat sebagai NCCTs (Non-Cooperatitive Countries and Territories) diberikan kepada suatu negara yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering. Dengan adanya predikat sebagai NCCTs membawa dampak negatif diantaranya dikenakan counter measures, yang berakibat misalnya penolakan oleh negara lain atas Letter of Credit (LC) yang diterbitkan oleh perbankan di negara yang terkena counter measures tersebut.
Masuknya Indonesia ke dalam daftar NCCTs membuat pemerintah Indonesia berusaha keras untuk segera keluar dari daftar tersebut. Usaha yang pertama adalah membuat peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang yang sesuai dengan standar internasional dan yang kedua adalah menetapkan beberapa upaya preventif dan represif agar tindak pidana tersebut dapat dicegah dan diberantas.
Kegiatan pencucian uang ini secara universal telah digolongkan sebagai suatu tindak pidana dan tergolong white collar crime.[1] Bahkan karena modus operandinya yang umumnya bersifat lintas Negara maka pencucian uang telah dianggap sebagai tindak pidana internasional (international crime).[2]
Kegiatan money laundering merupakan ancaman bagi perbankan karena pada dasarnya perbankan dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan. Dalam hal ini bank menghadapi berbagai risiko seperti risiko reputasi, risiko hukum, risiko operasional dan risiko konsentrasi.
Kegiatan pencucian uang merupakan usaha dari pelaku terhadap uang yang semula merupakan uang haram (dirty money) diproses sehingga menghasilkan uang bersih (clean money) melalui jalan “penyesatan” (imaze). Proses pencucian uang ini biasanya menggunakan lembaga-lembaga keuangan seperti Pasar Modal atau bank. Yang menjadi permasalahan adalah :
1.      Bagaimana modus operandi tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan bank sebagai sarana dan sasaran tindak pidana pencucian uang?
2.      Apakah upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan tindak pidana pencucian uang yang menggunakan bank sebagai sarana dan sasaran tindak pidana pencucian uang?
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor :  10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan :
“Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. Bank itu sendiri dalam Pasal 1 ayat (2) mempunyai definisi: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Secara garis besar sistem bank terbagi menjadi 4 (empat macam) yaitu: Bank Sentral, Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Syariah. Bank Sentral, adalah bank yang dapat bertindak sebagai bankers bank pimpinan penguasa moneter mendorong dan mengarahkan semua jenis bank yang ada. Bank Umum, yaitu bank baik milik negara, swasta, maupun koperasi yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk giro, deposito serta tabungan dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek. Bank Tabungan, yaitu bank baik milik negara, swasta, maupun koperasi yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk tanbungan sedangkan usahanya terutama membungakan dananya dalam kertas berharga. Bank Pembangunan, yaitu bank baik milik negara, swasta, maupun koperasi baik pusat maupun daerah yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam deposito dan atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang sedangkan usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan.
Bank sebagai industri keuangan telah menjadi tradisi tempat transaksi keuangan dapat dimanfaatkan oleh semua pihak untuk melakukan transaksi keuangan berupa pencucian uang. Bank sebagai industri keuangan banyak menawarkan jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal usul suatu dana. Tindakan bank ini menurut N.H.T. Siahaan “... merupakan sarana yang paling efektif dan canggih untuk memudahkan Money Laundering[3].
Pencucian uang tidak hanya berbahaya bagi perekonomian nasional saja akan tetapi juga terhadap bank itu sendiri. Masalah ini sesuai apa yang dikemukakan oleh Sjahdeni yang dikutip oleh NHT Siahaan ada 3 klasifikasi tindak pidana perbankan[4]. yaitu  :
1.      Tindak pidana perbankan dilakukan oleh bank yang mengganggu atau membahayakan system moneter;
2.      Tindak pidana Perbankan  yang dilakukan oleh Bank yang mengganggu atau membahayakan system pembayaran;
3.      Tindak pidana Perbankan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga terhadap suatu bank yang membahayakan kelangsungan hidup bank tersebut.
Di dunia perbankan dikenal adanya rahasia bank. Tinjauan teori tentang rahasia bank ada dua pendapat. Yang pertama teori rahasia bank bersifat mutlak, yaitu bahwa bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun, biasa atau dalam keadaan luar biasa. Teori yang kedua adalah rahasia bank bersifat nisbi, yaitu bahwa bank diperbolehkan membuka rahasia nasabahnya, bila untuk suatu kepentingan mesialnya demi kepentingan negara.[5]
Ketentuan rahasia bank terdapat dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 45 dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di Indonesia yaitu teori nisbi sehingga pemberian data dan informasi yang menyangkut kerahasiaan bank kepada pihak lain dimungkinkan. Kemungkinan pembukaan kerahasiaan bank dapat dilakukan apabila adanya suatu kepentingan umum berupa kepentingan :
1.            Perpajakan
2.            Penyelesaian piutang yang ditangani oleh BUPLN/PUPN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara)
3.            Peradilan baik untuk perkara pidana maupun perdata
4.            Kepentingan kelancaran dan keamanan kegiatan usaha bank, termasuk didalamnya permintaan pembukaan rahasia berdasarkan kuasa dari nasabah penyimpan itu sendiri atau permintaan ahli waris yang sah.
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor :  15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diperbaharui Undang-Undang Nomor :  25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor : 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor :  25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor :  15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mendefinisikan money laundering adalah perbuatan menempatkan, mentrasfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil kejahatan.[6]
Kegiatan pencucian uang dan kejahatan perbankan dapat berjalan secara bersamaan dan bekerja sama serta saling menguntungkan. Masing-masing kegiatan mempunyai modus operandi. Kerja sama bank dengan kegiatan pencucian yang paling tidak sebagai berikut :
1.   Pejabat bank tidak mematuhi ketentuan-ketentuan bank yang diwajibkan ;
2.   Pejabat bank dapat melakukan kolusi untuk memudahkan transaksi;
3.   Manajemen bank kurang cermat meneliti identitas nasabah;
4.   Pihak bank dapat berlindung dibelakang ketentuan rahasia bank 
Tindak pidana dibidang perbankan dengan menggunakan bank sebagai sarana dan sasaran. Bank sebagai sasaran terdapat dua pola  sebagai berikut :[7]
1.   Kegiatan  Money Laundering
2.   Advance fee fraud, yaitu perbuatan penipuan dengan jalan menjanjikan akan menyedia-kan sejumlah dana/meminjamkan uang atau melakukan sesuatu dengan meminta uang jasa terlebih dulu, dan setelah uang jasa perantara diterima, ternyata dana/ pinjaman uang yang dijanjikan  tidak ada. Advance fee fraud ini sering melibatkan para penguasa atau tokoh yang berpengaruh dari suatu Negara.
Bank sebagai sarana dapat dengan cara mendirikan bank fiktif (Phantom Bank) dan bank gelap. Phantom bank atau shell bank, yaitu bank tanpa asset. Pendirian bank semacam ini dapat terjadi apabila fungsi pengawasan bank tidak efektif atau tidak jalan. Bank gelap maksudnya adalah  berdirinya bank tanpa memiliki surat izin menurut   ketentuan undang-undang perbankan. 
Tindak pidana Pencucian Uang dilakukan melalui kegiatan perbankan dapat terjadi melalui  tiga tahapan Placement, Layering dan Integration[8]. Pada tahapan Placement. upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam system keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan terutama ke dalam sistem perbankan atau tindakan dilakukan seperti menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing. Bentuk kegiatan ini dapat berupa :[9]
a.       Menempatkan dana pada bank, pada kegiatan ini dapat diikuti pengajuan kredit/pembiayaan.
b.      Menyetorkan uang kepada Penyedia Jasa Keuangan sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
c.       Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
d.      Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit /pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/ pembiayaan.
e.       Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan   pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK.
Tahap  Layering, yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada bank sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering akan menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat me-ngetahui asal usul harta kekayaan itu. Tahap ini juga dapat dilakukan dengan cara mentransfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain dan dapat dilakukan berkali-kali, memecah jumlah uang, mentransfer dalam bentuk valuta asing. Bentuk kegiatan ini dapat berupa :[10]
a.       Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah / negara.
b.      Menggunakan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.
c.       memindahkan uang tunai lintas batas Negara melalui jaringan usaha yang sah mapun  shell company.
Menurut N.H.T. Siahaan kasus kejahatan bank dibedakan dalam tiga golongan :[11] 
1.   Modus operandi menyangkut legalitas bank; kegiatan ini terjadi dalam bentuk usaha bank tanpa izin,  usaha serupa kegiatan bank.
2.   Modus operandi menyangkut lalu lintas giral; kegiatan ini dapat berupa menggunakan sarana warkat-warkat bank dengan cara membuat perintah pembayaran tunai atau pindah bukuan secara tidak sah.
3.   Modus operandi menyangkut kredit bermasalah. Kegiatan inidilakukan dengan memani-pulasi kelengkapan persyaratan kredit yang menyangkut identitas maupun jaminan dengan tidak memberikan keterangan yang benar pada saat proses  maupun terjadi perikatan kredit. Manipulasi transaksi surat-surat berharga berupa commercial paper, certificate of deposito, obligasi dll. 
Walaupun banyak modus operandi yang diketahui, namum ada yang perlu diketahui secara mendalam yaitu metode yang digunakan. Modus operandi merupakan peluang untuk melakukan kegiatan. Metode  menyangkut bagaimana cara melakukan kegiatan kejahatan dari beberapa modus operandi yang ada. Metode kegiatan Pencucian Uang  dapat diketahui sebagai berikut :[12]
1.      Metode buy and sell conversions
Melalui transaksi barang dan jasa. Suatu aset dapat membeli dan menjual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual  secara harga yang lebih mahal dari harga normal dengan mendapatkan fee atau diskon. Selisih harga bayar dengan uang illegal dan kemudian dicuci secara taransaksi bisnis.
2.      Metode offshore conversions.
Uang kotor dikonversi ke suatu weilayah yang merupakan  tempat yang aman bagi penghindaran pajak (tax haven money laundering centers) kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah itu. Biasanya tempat yang bersifat tax haven mempergunakan rahasia bank secara ketat. Birokrasi bisnis sangat mudah untuk memung-kinkan adanya rahasia bisnis yang ketat serta pembentukan nusaha trust  fund. Kegiatan ini pelaku mempergunakan konsultan, akuntan atau pengacara yang handal dibidang keuangan.
3.      Metode Legimate business conversions.
Kegiatan ini melalui ketentuan yang legal sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan uang kotor. Uang kotor ini dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran yang lain untuk disimpan di rekening bank lain.Biasanya pelaku bekerja sama dengan suatu perusahaan yang rekeningnya dapat dipergunakan sebagai terminal untuk menampung uang kotor
Ada dua metode memperotekksi rahasia bank22, yaitu 
1.   Metode perlindungan moderat. 
Perlindungan rahasia bank diperaktekan di negera yang tidak tergolong tax haven, seperti Indonesia. Hubungan antara bank dengan nasabah bank tetap dianggap rahasia. Akan tetapi prinsip rahasia bank secara hukum tidak terlalu sulit. 
2.   Metode perlindungan yang ketat.
Metode ini Negara memberikan perlindungan terhadap kerahasiaan bank secara ketat. Pada Negara tax haven hampir rahasia bank tidak dapat dibuka (seperti Swiss tempo dulu). Akan tetapi walau demikian masih ada kelunakannya apabila menyangkut hasil dari tindak pidana seperti korupsi atau narkotika walaupun harus melalui tahap penye-lidikan dan alasan yang sangat selektif.
Menurut ketentuan perbankan, rahasia bank tidaklah berlaku secara mutlak. Tidak mutlaknya keberlakuan rahasia bank ini dapat dimengerti untuk memberantas tindak pidana yang mempunyai hubungan keuangan dan perekonomian Negara  dengan perbankan. Seperti tindak pidana korupsi dan juga pencucian uang. Undang-undang Nomor : 10 tahun 1998 tidak menetapkan secara terbatas pengecualian rahasia bank. Rahasia bank tidak berlaku atau dikecualikan  terhadap perkara pidana, perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, untuk kepentingan perpajakan dan dalam tukar menukar informasi antar bank. Ketentuan rahasia bank ini oleh undang-undang hanya terbatas kepada nasabah penyimpan bukan nasabah debitur. Menurut Pasal 40 ayat (1) Undang-undang No 10 tahun 1998 Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali yang dimaksud dalam Pasal 41 A, Pasal 42 Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44 A .
      Perlu diperhatikan bahwa pencucian uang dapat tumbuh dengan subur apabila rahasia bank dan prinsip tax haven berlaku secara sempurna dan ketat. Sempurna berarti nasabah diberikan perlindungan melalui ketentuan rahasia bank, ketat berarti rahasia bank tidak mudah untuk dikesampingkan atau dibuka. Salah satu keistimewaan negara tax haven adalah bahwa hukum di negara tax haven sangat melindungi rahasia bank. Oleh karena itu orang akan merasa aman menyimpan uang di negara yang menganut prinsip tax haven. Kalaupun rahasia bank dapat dibuka itu hanya dapat dibuka dengan alasan-alasan khusus dan prosudur yang sulit. Oleh karena itu usaha penerobosan ketentuan rahasia bank merupakan tindakan pencegahan terhadap pencucian uang .
Berdasarkan penulisan tersebut maka di dapat beberapa kesimpulan yang pada pokoknya :
  1. Kegiatan pencucian uang dan kejahatan perbankan dapat berjalan secara bersamaan dan bekerja sama serta saling menguntungkan. Bank sebagai sarana dapat dengan cara mendirikan bank fiktif (Phantom Bank) dan bank gelap. Phantom bank atau shell bank, yaitu bank tanpa asset.
Tindak pidana Pencucian Uang dilakukan melalui kegiatan perbankan dapat terjadi melalui  tiga tahapan Placement, Layering dan Integration. Pencucian uang terjadi lebih didasarkan oleh kelemahan pengawasan dari aparat yang berwenang disamping kelemahan undang-undang. Pencucian uang pada suatu bank akan semakin terbuka apabila rahasia bank itu diberlakukan secara ketat/mutlak.


[1] Munir Fuady, 2004. Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, hal.11
[2] Ibid, hal.85
[3] N.H.T, Siahaan. 2005. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
[4] Ibid
[5] Muhammad Djumhana, 1996. Hukum Perbankan di Indonesia,  Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, hlm. 164.

[6] M.Arief Amrullah, 2004. Tindak Pidana Pencucian Uang, Malang: Bayumedia Publishing, hal.9.
[7] NHT.Siahaan,  Loc.cit
[8] Soewarsono dan Reda Manthovani, 2004, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, Jakarta, CV.Malibu. hal. 4
[9] Yunus Husein, 2004. Makalah Membangun Rezim Anti Pencucian Uang Yang Efektif di Indonesia, hal. 6
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Sri Rejeki Hartono. 2000. Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Bandung: Mandar Maju .

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Total Pageviews

The Thinking of Law © Layout By Hugo Meira.

TOPO